KEADILAN
DI DUNIA ITU FANA
Masalah
keadilan adalah salah satu bahasan keagamaan yang krusial dan sangat universal.
Di kalangan para theolog terjadi perdebatan panjang tentang keadilan ini,
sehingga melahirkan aliran besar yaitu kaum pendukung keadilan (`adaliah) dan
yang bukan. Kaum `adaliah diwakili oleh madzab Mu`tajilah dan Syi`ah walau
banyak perbedaan di dalamnya. Dan mereka yang kontra dengan keadilan
adalah kaum `Aysariyah.
Keadilan
yang ada di dunia Islam sangatlah luas medan bahasannya. Secara garis besar ada
keadilan ilahi, yaitu bahasan keadilan yang berkenaan dengan Allah SWT. Juga
ada keadilan yang berkenaan dengan manusia. Bahasan yang akan dibahas dalam
kesempatan ini adalah keadilan sosial, yaitu salah satu bagian dari bahasan
keadilan yang berkenaan dengan manusia.
Kenapa
manusia harus berbuat adil? Kenapa harus berusaha juga menegakkan keadilan di
muka bumi ini? Allah Maha Adil, manusia sebagai khalifah Allah dituntut
untuk menegakkan keadilan di dunia ini. Dirinya harus mencoba merealisasikan
keadilan sebagai sifat tuhan, menjadikannya sebagai sifat dirinya.
Keadilan
sosial mengandung arti memelihara hak-hak individu dan memberikan hak-hak
kepada setiap orang yang berhak menerimanya1.
Karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri
dalam memenuhi segala kebutuhannya. Inilah salah satu alasan Allah menciptakan
manusia dalam beragam warna kulit dan bahasa, suku dan ras, agar tercipta
sebuah kebersamaan dan keharmonisan di antara manusia. Dengan manusia saling
memenuhi kebutuhan masing-masing, maka kebersamaan dan saling ketergantunganpun
tercipta, dan ini merupakan kedilan Allah yang Maha Adil.
Ketika
manusia sebagai makhluk sosial, maka secara otomatis pula ada hak dan kewajiban
di antara mereka. Hak dan kewajiban adalah dua hal timbal balik, yang tidak
mungkin ada salah satunya jika yang satunya lagi tidak ada. Ketika ada hak yang
harus dierima, otomatis juga ada kewajiban yang harus diberikan. Imam Ali mengatakan:
“Hak
seseorang tidak akan terlaksana kecuali dengan melaksanakan kewajibannya.
Begitu juga, kewajiban seseorang tidak akan terlaksana kecuali dengan
melaksanakan haknyaâ€.2
Akan
tetapi hak tidaklah bersifat timbal balik bagi Allah, karena hanya Allah saja
yang hanya memiliki satu sisi saja yaitu hak dan tidak punya kewajiban. Hak
Allah atas makhluk-Nya amatlah luas, berarti juga kewajiban kita sebagai manusia
kepada Allah sangatlah banyak untuk disebutkan. “Tidak mungkin seseorang
memiliki hak atas Allah, akal kita sangat kerdil untuk membenarkan bahwa ada
seseorang yang memiliki hak atas Allah, walaupun nabi terakhir sekalipunâ€3.
Imam Ali dalam salah satu khutbahnya mengatakan:
â€Kalaupun terdapat pihak
yang haknya terlaksana namun dia tidak memiliki kewajiban atas yang lain, maka
itu hanya khusus untuk Allahâ€4
Semua
manusia yang ada di alam ini tidak pernah lepas dari yang namanya hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban memasuki setiap ranah kehidupan dan setiap strata
masyarakat. Hak dan kewajiban yang timbal balik diantara sesama manusia ini,
kalau saling memberikan dan menerima dengan semestinya maka akan tercipta
keharmonisan di antara manusia, dan inilah yang dinamakan dengan keadilan
sosial. Melaksanakan kewajibannya dan menerima apa yang menjadi haknya.
Syahid
Murtadha Muthahari dalam salah satu bukunya mengatakan : “Merealisasikan hak
tidak bisa sendirian tapi harus kerjasama dengan orang lain. Hak tidak bisa
tercipta dari satu pemikiran saja. Tidak ada seorang pun yang mempunyai
kedudukan sedemikian tinggi sehingga tidak membutuhkan kerjasama dan sumbangan
pemikiran orang lainâ€5.
Menegakkan
Keadilan, Tugas Kita Bersama
Akan
tetapi melaksanakan hak atau dengan kata lain menegakkan keadilan di antara
manusia adalah hal yang sangat sulit. Karena manusia lebih mendahulukan
keinginan dirinya, daripada harus memberikan sesuatu kepada orang lain. Kata
hak adalah kata yang setiap orang mungkin mengetahui dan mengakuinya bahwa
dirinya memilik hak atas orang lain yang harus ia berikan, dan ini berada di
alam pikiran. Tapi ketika pengetahuan tadi harus kita laksanakan dan
merealisasikannya di alam nyata, mengeluarkannya dari tataran teori, maka ini
merupakan hal lain. Karena alam teori dan alam realita adalah dua alam yang
berbeda, hanya bisa menyatu jika manusia tadi sudah bisa menyatukannya, dan
menjadi satu kesatuan yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi, apa yang ia
ucapkan itulah yang ia lakukan. Betapa banyak hal yang kita ketahui, tapi yang
kita praktekkan sedikit sekali. Imam Ali mengatakan:
â€Hak adalah sesuatu yang
sangat luas untuk disifati, tapi sangat sempit untuk bisa dilaksanakanâ€6.
Salah
satu tujuan terbesar diutusnya rasul-rasul Allah, terutama Nabi terakhir Rasul
penutup Muhammad saw adalah menegakkan keadilan di bumi. Sebagaimana dalam Al
Quran disebutkan:
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilam) supaya
manusia dapat menegakkan keadilan†(Qs Al Hadid
:25)
Keadilan
merupakan pokok terpenting untuk menciptakan tatanan dunia yang damai dan
makmur, tanpa ada diskriminasi dan pelanggaran HAM di antara sesama. Semua nabi
diutus oleh Allah untuk menegakkan keadilan. Tapi keadilan itu tidak akan
tercipta selama manusia masih menggunakan hukumnya, masih mendahulukan keinginan
dan ego pribadinya, maka jangan harap keadilan di muka bumi akan tercipta,
karena hanya keadilan yang bersumber dari tuhan saja yang bisa menjamin, dan
tidak tercipta diskriminasi, bukankah para nabi juga orang-orang yang beriman
sudah membuktikan hal itu?
Pemimpin
keadilan, Imam Ali adalah bukti nyatanya. Beliau berusaha untuk menegakkan
keadilan di masa pemerintahannya, menghilangkan kezaliman yang menimpa umat,
karena kezaliman waktu itu adalah warisan penguasa sebelumnya. Maka beliau
sebagai pemangku jabatan pemerintahan yang baru harus berusaha mengembalikan
hukum yang sudah jungkir balik. Keadilan adalah merupakan prioritas utama di
masa awal pemerintahannya. George Jordac mengatakan: â€Usaha-usaha amirul
mukminin difokuskan pada perbaikan diri dan akhlak, dan berusaha menempatkan
masyarakat pada dasar kejujuran dan keadilan demi melaksanakan hukum yang adil
bagi kehidupan materi dan keduniawian manusiaâ€7.
Dunia
dewasa ini diperintah oleh negara-negara adikuasa, dan tentunya mereka ini
bukan atas dasar keadilan yang sebenarnya, akan tetapi atas nama keadilan yang
mereka bawa. Bukan keadilan yang sesungguhnya akan tetapi keadilan yang sudah
didramatisir dan diskenario sedemikian rupa demi kepentingan perut mereka saja.
Mereka meneriakkan keadilan dan ingin menciptakan masyarakat yang
demokratis. Akan tetapi ironis sekali, yang terjadi bukannya keadilan
tetapi eksploitasi dan penjajahan. Telah terjadi konspirasi tingkat tinggi
antara pemimpin dunia, sehingga negara yang kecil dan rapuh adalah sasaran
empuk dan menjadi bulan-bulannan mereka, Inalillah…..
Kebiasaan
buruk atau kejahatan yang ditolelir dan dilakukan secara berulang-ulang akan
menjadi kebiasaan, ujung-ujungnya tidak lagi dianggap sebagai kejahatan, tapi
merupakan hal yang biasa. Walaupun esensi utamanya tetap, yaitu kejahatan dan
keburukan. Hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Kejahatan yang diakui
sebagai kebenaran tetap menjadi sebuah kejahatan. Negara-negara lemah
mengaharapkan uluran tangan. Tetapi tidak ada yang menjadi harapan mereka
kecuali tuhan mereka yang Maha Adil dan Maha Kasih. Imam Ali as mengatakan:
“Si
tertindas dan tak berdaya adalah orang-orang mulia dan si penindas adalah
orang-orang hina dan rendah, orang-orang kecil tidak dapat melakukan moral dan
pembawaan yang baik karena ketidakberdayaan mereka dari penindasan pejabat,
sedangkan para pejabat menyembunyikan cacat mereka di balik pakaian yang
mewahâ€.8
Kita
harus berusaha menciptakan keadilan, atau paling tidak menjadi bagian dari
orang-orang yang meneriakkan keadilan. Kita tidak punya pilihan lain kecuali
dua hal; menjadi pendukung keadilan atau menjadi penyokong kezaliman. Tentunya
kita sebagai manusia yang berakal menjadi pendukung, bukan menjadi sebaliknya.
Menjadi pendukung bukanlah hal yang gampang, karena keadilan dan kebenaran
membawa konsekuensi yang banyak sekaligus berat, kita harus mempersiapkan diri
untuk menggapainya. Bukankah pengikut pemimpin keadilan (Imam Ali)
Kata “Keadilan” beberapa kali disebut dalam rumusan Pembukaan
UUD 1945. Terhitung keadilan dinyatakan dalam: “penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”,
“kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur”, “berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, dan
di dalam “serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia”.
Keadilan dalam Pembukaan memperoleh tempat penting dalam fundamen negara yang dibentuk oleh pendiri negara kita. Keistimewaan perumusan sila keadilan sosial menurut Notonagoro dalam bukunya Pancasila Secara Ilmiah Populer, karena empat sila yang mendahuluinya untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam sila kelima ini, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Bahkan, Asmara Hadi dalam bukunya menyebutkan keadilan sosial sebagai sila terpenting, karena meliputi keadilan yang berlaku dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Namun, yang jelas, sila keadilan sosial ditempatkan terakhir karena menjadi tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara. “Tempatnya di dalam Pancasila sebagai sila yang terakhir itu ialah karena menjadi tujuan daripada empat sila yang mendahuluinya,” terang Notonagoro.
Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda Pancasila sebagai lambang negara, bahwa salah satu ruang dari lima ruang dalam perisai terdapat “kapas dan padi” melambangkan sandang pangan dan tujuan kemakmuran. Kapas dan padi merupakan lukisan keadilan sosial sebagaimana sila kelima Pancasila.
Dari perumusan keadilan dalam Pembukaan memperlihatkan, dalam negara adil dan makmur, dan kesejahteraan rakyat itu harus terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan keadilan sosial ini, perumusannya semula sesuai Pidato Soekarno disampaikan di dalam prinsip ke-4, yakni kesejahteraan soaial”. Soekarno dalam sidang BPUPKI, berharap tidak ada kemiskinan lagi di dalam Indonesia merdeka. Dicantumkan sila keadilan sosial adalah protes keras atas dasar individualisme dan kapitalisme, serta menolak bentuk penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lain dan negara.
“Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pandang kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini,” papar Soekarno tentang keadilan sosial.
Sebagai usaha tujuan negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bapak dan ibu bangsa merumuskan pasal-pasal antara lain soal kesejahteraan sosial dalam batang tubuh UUD Proklamasi, yang membedakan dengan konstitusi-konstitusi negara barat yang tidak mencantumkan kesejahteraan sosial dalam hukum tertingginya.
Selama Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangan konstitusionalnya sejak 2003, memang secara langsung atau tidak langsung menggunakan pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 sebagai bintang pemandu untuk menilai konstitusionalitas undang-undang. Dengan itu, maka lembaga ini telah menerjemahkan Pembukaan. Pembukaan juga berisi norma-norma dasar yang fundamental yang tidak hanya berisi Pancasila tetapi hal-hal mendasar lain juga dapat menjadi orientasi dan arah, membawa negara kepada tujuannya, yakni keadilan sosial tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi seluruh umat manusia.
Dari beberapa putusan, memperlihatkan norma keadilan sosial berusaha direalisasikan dalam mengawal undang-undang sesuai konstitusi. Dalam pengujian UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (No.001-021-022/PUU-I/2003), MK melalui pengujian Pasal 16 UU dengan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda, akan semakin membuat terpuruk BUMN yang bermuara tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. MK dalam hal ini menjaga sistem UUD 1945 yang menolak ekonomi pasar untuk mencapai cita hukum Pancasila.
Dalam pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (No. 002/PUU-I/2003) memperlihatkan MK menjaga norma “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, dengan ini tidak menjamin prinsip demokrasi ekonomi. Seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Selain itu, pemutusan hubungan kerja agar tidak sewenang-wenang, hal itu diluruskan dalam putusan No.012/PUU-I/2003 dengan kondisi sosiologis pekerja-pengusaha yang berbeda. Lembaga ini juga beberapa kali menjaga alokasi anggaran pendidikan 20% sebagai amanat konstitusi dalam beberapa kali dalam pengujian UU APBN.
Dalam pengujian UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga telah ternyata pemberian hak-hak atas tanah kepada perusahaan penanaman modal baik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai yang dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Penanaman Modal, bertentangan dengan prinsip penguasaan negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. MK juga turut menjaga tujuan keadilan sosial tercapai dalam pengujian UU Badan Hukum Pendidikan. Keadilan substantif selalu mendasari mengadili perkara Pemilu (Kada) ketika berhadapan dengan keadilan prosedural, untuk membuka peluang tercapainya keadilan. UU Sumber Daya Air dan UU UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan putusan lain dianggap sejalan dengan konstitusi dan tujuan negara sehingga dipertahankan keberlakuannya.
Hakim Konstitusi Harjono seperti dikutip Ketua MK Moh Mahfud MD dalam materi yang disampaikan pada Pertemuan Pimpinan Lembaga Negara pada 24 Mei 2011 di Gedung MK, mengatakan batu uji materi konstitusionalitas undang-undang bukan hanya pasal-pasal UUD tetapi juga Pembukaan. ”Di dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD Negara Republik Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,” jelas Mahfud. Hal ini merupakan langkah maju, norma fundamental yang berisi asas-asas dan norma dasar lebih dikonkretisasi dengan menilai undang-undang untuk terwujudnya keadilan sosial sesuai cita-cita pendiri republik negeri.
Keadilan dalam Pembukaan memperoleh tempat penting dalam fundamen negara yang dibentuk oleh pendiri negara kita. Keistimewaan perumusan sila keadilan sosial menurut Notonagoro dalam bukunya Pancasila Secara Ilmiah Populer, karena empat sila yang mendahuluinya untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam sila kelima ini, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Bahkan, Asmara Hadi dalam bukunya menyebutkan keadilan sosial sebagai sila terpenting, karena meliputi keadilan yang berlaku dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Namun, yang jelas, sila keadilan sosial ditempatkan terakhir karena menjadi tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara. “Tempatnya di dalam Pancasila sebagai sila yang terakhir itu ialah karena menjadi tujuan daripada empat sila yang mendahuluinya,” terang Notonagoro.
Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda Pancasila sebagai lambang negara, bahwa salah satu ruang dari lima ruang dalam perisai terdapat “kapas dan padi” melambangkan sandang pangan dan tujuan kemakmuran. Kapas dan padi merupakan lukisan keadilan sosial sebagaimana sila kelima Pancasila.
Dari perumusan keadilan dalam Pembukaan memperlihatkan, dalam negara adil dan makmur, dan kesejahteraan rakyat itu harus terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan keadilan sosial ini, perumusannya semula sesuai Pidato Soekarno disampaikan di dalam prinsip ke-4, yakni kesejahteraan soaial”. Soekarno dalam sidang BPUPKI, berharap tidak ada kemiskinan lagi di dalam Indonesia merdeka. Dicantumkan sila keadilan sosial adalah protes keras atas dasar individualisme dan kapitalisme, serta menolak bentuk penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lain dan negara.
“Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pandang kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini,” papar Soekarno tentang keadilan sosial.
Sebagai usaha tujuan negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bapak dan ibu bangsa merumuskan pasal-pasal antara lain soal kesejahteraan sosial dalam batang tubuh UUD Proklamasi, yang membedakan dengan konstitusi-konstitusi negara barat yang tidak mencantumkan kesejahteraan sosial dalam hukum tertingginya.
Selama Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangan konstitusionalnya sejak 2003, memang secara langsung atau tidak langsung menggunakan pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 sebagai bintang pemandu untuk menilai konstitusionalitas undang-undang. Dengan itu, maka lembaga ini telah menerjemahkan Pembukaan. Pembukaan juga berisi norma-norma dasar yang fundamental yang tidak hanya berisi Pancasila tetapi hal-hal mendasar lain juga dapat menjadi orientasi dan arah, membawa negara kepada tujuannya, yakni keadilan sosial tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi seluruh umat manusia.
Dari beberapa putusan, memperlihatkan norma keadilan sosial berusaha direalisasikan dalam mengawal undang-undang sesuai konstitusi. Dalam pengujian UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (No.001-021-022/PUU-I/2003), MK melalui pengujian Pasal 16 UU dengan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda, akan semakin membuat terpuruk BUMN yang bermuara tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. MK dalam hal ini menjaga sistem UUD 1945 yang menolak ekonomi pasar untuk mencapai cita hukum Pancasila.
Dalam pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (No. 002/PUU-I/2003) memperlihatkan MK menjaga norma “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, dengan ini tidak menjamin prinsip demokrasi ekonomi. Seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Selain itu, pemutusan hubungan kerja agar tidak sewenang-wenang, hal itu diluruskan dalam putusan No.012/PUU-I/2003 dengan kondisi sosiologis pekerja-pengusaha yang berbeda. Lembaga ini juga beberapa kali menjaga alokasi anggaran pendidikan 20% sebagai amanat konstitusi dalam beberapa kali dalam pengujian UU APBN.
Dalam pengujian UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga telah ternyata pemberian hak-hak atas tanah kepada perusahaan penanaman modal baik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai yang dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Penanaman Modal, bertentangan dengan prinsip penguasaan negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. MK juga turut menjaga tujuan keadilan sosial tercapai dalam pengujian UU Badan Hukum Pendidikan. Keadilan substantif selalu mendasari mengadili perkara Pemilu (Kada) ketika berhadapan dengan keadilan prosedural, untuk membuka peluang tercapainya keadilan. UU Sumber Daya Air dan UU UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan putusan lain dianggap sejalan dengan konstitusi dan tujuan negara sehingga dipertahankan keberlakuannya.
Hakim Konstitusi Harjono seperti dikutip Ketua MK Moh Mahfud MD dalam materi yang disampaikan pada Pertemuan Pimpinan Lembaga Negara pada 24 Mei 2011 di Gedung MK, mengatakan batu uji materi konstitusionalitas undang-undang bukan hanya pasal-pasal UUD tetapi juga Pembukaan. ”Di dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD Negara Republik Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,” jelas Mahfud. Hal ini merupakan langkah maju, norma fundamental yang berisi asas-asas dan norma dasar lebih dikonkretisasi dengan menilai undang-undang untuk terwujudnya keadilan sosial sesuai cita-cita pendiri republik negeri.
0 komentar:
Posting Komentar