Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Halaman

KEADILAN


KEADILAN DI DUNIA ITU FANA
Masalah keadilan adalah salah satu bahasan keagamaan yang krusial dan sangat universal. Di kalangan para theolog terjadi perdebatan panjang tentang keadilan ini, sehingga melahirkan aliran besar yaitu kaum pendukung keadilan (`adaliah) dan yang bukan. Kaum `adaliah diwakili oleh madzab Mu`tajilah dan Syi`ah walau banyak perbedaan di dalamnya.  Dan mereka yang kontra dengan keadilan adalah kaum `Aysariyah.
Keadilan yang ada di dunia Islam sangatlah luas medan bahasannya. Secara garis besar ada keadilan ilahi, yaitu bahasan keadilan yang berkenaan dengan Allah SWT. Juga ada keadilan yang berkenaan dengan manusia. Bahasan yang akan dibahas dalam kesempatan ini adalah keadilan sosial, yaitu salah satu bagian dari bahasan keadilan yang berkenaan dengan manusia.
Kenapa manusia harus berbuat adil? Kenapa harus berusaha juga menegakkan keadilan di muka bumi ini? Allah  Maha Adil, manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk menegakkan keadilan di dunia ini. Dirinya harus mencoba merealisasikan keadilan sebagai sifat tuhan, menjadikannya sebagai sifat dirinya.
Keadilan sosial mengandung arti memelihara hak-hak individu dan memberikan hak-hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya1. Karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya. Inilah salah satu alasan Allah menciptakan manusia dalam beragam warna kulit dan bahasa, suku dan ras, agar tercipta sebuah kebersamaan dan keharmonisan di antara manusia. Dengan manusia saling memenuhi kebutuhan masing-masing, maka kebersamaan dan saling ketergantunganpun tercipta, dan ini merupakan kedilan Allah yang Maha Adil.
Ketika manusia sebagai makhluk sosial, maka secara otomatis pula ada hak dan kewajiban di antara mereka. Hak dan kewajiban adalah dua hal timbal balik, yang tidak mungkin ada salah satunya jika yang satunya lagi tidak ada. Ketika ada hak yang harus dierima, otomatis juga ada kewajiban yang harus diberikan. Imam Ali mengatakan:
“Hak seseorang tidak akan terlaksana kecuali dengan melaksanakan kewajibannya. Begitu juga, kewajiban seseorang tidak akan  terlaksana kecuali dengan melaksanakan haknya”.2
Akan tetapi hak tidaklah bersifat timbal balik bagi Allah, karena hanya Allah saja yang hanya memiliki satu sisi saja yaitu hak dan tidak punya kewajiban. Hak Allah atas makhluk-Nya amatlah luas, berarti juga kewajiban kita sebagai manusia kepada Allah sangatlah banyak untuk disebutkan. “Tidak mungkin seseorang memiliki hak atas Allah, akal kita sangat kerdil untuk membenarkan bahwa ada seseorang yang memiliki hak atas Allah, walaupun nabi terakhir sekalipun”3. Imam Ali dalam salah satu khutbahnya mengatakan:
”Kalaupun terdapat pihak yang haknya terlaksana namun dia tidak memiliki kewajiban atas yang lain, maka itu hanya khusus untuk Allah”4
Semua manusia yang ada di alam ini tidak pernah lepas dari yang namanya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban memasuki setiap ranah kehidupan dan setiap strata masyarakat. Hak dan kewajiban yang timbal balik diantara sesama manusia ini, kalau saling memberikan dan menerima dengan semestinya maka akan tercipta keharmonisan di antara manusia, dan inilah yang dinamakan dengan keadilan sosial. Melaksanakan kewajibannya dan menerima apa yang menjadi haknya.
Syahid Murtadha Muthahari dalam salah satu bukunya mengatakan : “Merealisasikan hak tidak bisa sendirian tapi harus kerjasama dengan orang lain. Hak tidak bisa tercipta dari satu pemikiran saja. Tidak ada seorang pun yang mempunyai kedudukan sedemikian tinggi sehingga tidak membutuhkan kerjasama dan sumbangan pemikiran orang lain”5.
Menegakkan Keadilan, Tugas Kita Bersama
Akan tetapi melaksanakan hak atau dengan kata lain menegakkan keadilan di antara manusia adalah hal yang sangat sulit. Karena manusia lebih mendahulukan keinginan dirinya, daripada harus memberikan sesuatu kepada orang lain. Kata hak adalah kata yang setiap orang mungkin mengetahui dan mengakuinya bahwa dirinya memilik hak atas orang lain yang harus ia berikan, dan ini berada di alam pikiran. Tapi ketika pengetahuan tadi harus kita laksanakan dan merealisasikannya di alam nyata, mengeluarkannya dari tataran teori, maka ini merupakan hal lain. Karena alam teori dan alam realita adalah dua alam yang berbeda, hanya bisa menyatu jika manusia tadi sudah bisa menyatukannya, dan menjadi satu kesatuan yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi, apa yang ia ucapkan itulah yang ia lakukan. Betapa banyak hal yang kita ketahui, tapi yang kita praktekkan sedikit sekali. Imam Ali mengatakan:
”Hak adalah sesuatu yang sangat luas untuk disifati, tapi sangat sempit untuk bisa dilaksanakan”6.
Salah satu tujuan terbesar diutusnya rasul-rasul Allah, terutama Nabi terakhir Rasul penutup Muhammad saw adalah menegakkan keadilan di bumi. Sebagaimana dalam Al Quran disebutkan:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilam) supaya manusia dapat menegakkan keadilan” (Qs  Al Hadid :25)
Keadilan merupakan pokok terpenting untuk menciptakan tatanan dunia yang damai dan makmur, tanpa ada diskriminasi dan pelanggaran HAM di antara sesama. Semua nabi diutus oleh Allah untuk menegakkan keadilan. Tapi keadilan itu tidak akan tercipta selama manusia masih menggunakan hukumnya, masih mendahulukan keinginan dan ego pribadinya, maka jangan harap keadilan di muka bumi akan tercipta, karena hanya keadilan yang bersumber dari tuhan saja yang bisa menjamin, dan tidak tercipta diskriminasi, bukankah para nabi juga orang-orang yang beriman sudah membuktikan hal itu?
Pemimpin keadilan, Imam Ali adalah bukti nyatanya. Beliau berusaha untuk menegakkan keadilan di masa pemerintahannya, menghilangkan kezaliman yang menimpa umat, karena kezaliman waktu itu adalah warisan penguasa sebelumnya. Maka beliau sebagai pemangku jabatan pemerintahan yang baru harus berusaha mengembalikan hukum yang sudah jungkir balik. Keadilan adalah merupakan prioritas utama di masa awal pemerintahannya. George Jordac mengatakan: ”Usaha-usaha amirul mukminin difokuskan pada perbaikan diri dan akhlak, dan berusaha menempatkan masyarakat pada dasar kejujuran dan keadilan demi melaksanakan hukum yang adil bagi kehidupan materi dan keduniawian manusia”7.
Dunia dewasa ini diperintah oleh negara-negara adikuasa, dan tentunya mereka ini bukan atas dasar keadilan yang sebenarnya, akan tetapi atas nama keadilan yang mereka bawa. Bukan keadilan yang sesungguhnya akan tetapi keadilan yang sudah didramatisir dan diskenario sedemikian rupa demi kepentingan perut mereka saja. Mereka  meneriakkan keadilan dan ingin menciptakan masyarakat yang demokratis. Akan tetapi  ironis sekali, yang terjadi bukannya keadilan tetapi eksploitasi dan penjajahan. Telah terjadi konspirasi tingkat tinggi antara pemimpin dunia, sehingga negara yang kecil dan rapuh adalah sasaran empuk dan menjadi bulan-bulannan mereka, Inalillah…..
Kebiasaan buruk atau kejahatan yang ditolelir dan dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan, ujung-ujungnya tidak lagi dianggap sebagai kejahatan, tapi merupakan hal yang biasa. Walaupun esensi utamanya tetap, yaitu kejahatan dan keburukan. Hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Kejahatan yang diakui sebagai kebenaran tetap menjadi sebuah kejahatan. Negara-negara lemah mengaharapkan uluran tangan. Tetapi tidak ada yang menjadi harapan mereka kecuali tuhan mereka yang Maha Adil dan Maha Kasih. Imam Ali as mengatakan:
“Si tertindas dan tak berdaya adalah orang-orang mulia dan si penindas adalah orang-orang hina dan rendah, orang-orang kecil tidak dapat melakukan moral dan pembawaan yang baik karena ketidakberdayaan mereka dari penindasan pejabat, sedangkan para pejabat menyembunyikan cacat mereka di balik pakaian yang mewah”.8
Kita harus berusaha menciptakan keadilan, atau paling tidak menjadi bagian dari orang-orang yang meneriakkan keadilan. Kita tidak punya pilihan lain kecuali dua hal; menjadi pendukung keadilan atau menjadi penyokong kezaliman. Tentunya kita sebagai manusia yang berakal menjadi pendukung, bukan menjadi sebaliknya. Menjadi pendukung bukanlah hal yang gampang, karena keadilan dan kebenaran membawa konsekuensi yang banyak sekaligus berat, kita harus mempersiapkan diri untuk menggapainya. Bukankah pengikut pemimpin keadilan (Imam Ali) 

Kata “Keadilan” beberapa kali disebut dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Terhitung keadilan dinyatakan dalam: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”, “kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”, “berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, dan di dalam “serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. 

Keadilan dalam Pembukaan memperoleh tempat penting dalam fundamen negara yang dibentuk oleh pendiri negara kita. Keistimewaan perumusan sila keadilan sosial menurut Notonagoro dalam bukunya Pancasila Secara Ilmiah Populer, karena empat sila yang mendahuluinya untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam sila kelima ini, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” 

Bahkan, Asmara Hadi dalam bukunya menyebutkan keadilan sosial sebagai sila terpenting, karena meliputi keadilan yang berlaku dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Namun, yang jelas, sila keadilan sosial ditempatkan terakhir karena menjadi tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara. “Tempatnya di dalam Pancasila sebagai sila yang terakhir itu ialah karena menjadi tujuan daripada empat sila yang mendahuluinya,” terang Notonagoro.

Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda Pancasila sebagai lambang negara, bahwa salah satu ruang dari lima ruang dalam perisai terdapat “kapas dan padi” melambangkan sandang pangan dan tujuan kemakmuran. Kapas dan padi merupakan lukisan keadilan sosial sebagaimana sila kelima Pancasila. 

Dari perumusan keadilan dalam Pembukaan memperlihatkan, dalam negara adil dan makmur, dan kesejahteraan rakyat itu harus terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan keadilan sosial ini, perumusannya semula sesuai Pidato Soekarno disampaikan di dalam prinsip ke-4, yakni kesejahteraan soaial”. Soekarno dalam sidang BPUPKI, berharap tidak ada kemiskinan lagi di dalam Indonesia merdeka. Dicantumkan sila keadilan sosial adalah protes keras atas dasar individualisme dan kapitalisme, serta menolak bentuk penindasan dan eksploitasi manusia oleh manusia lain dan negara. 

“Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pandang kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini,” papar Soekarno tentang keadilan sosial. 

Sebagai usaha tujuan negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bapak dan ibu bangsa merumuskan pasal-pasal antara lain soal kesejahteraan sosial dalam batang tubuh UUD Proklamasi, yang membedakan dengan konstitusi-konstitusi negara barat yang tidak mencantumkan kesejahteraan sosial dalam hukum tertingginya. 

Selama Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangan konstitusionalnya sejak 2003, memang secara langsung atau tidak langsung menggunakan pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 sebagai bintang pemandu untuk menilai konstitusionalitas undang-undang. Dengan itu, maka lembaga ini telah menerjemahkan Pembukaan. Pembukaan juga berisi norma-norma dasar yang fundamental yang tidak hanya berisi Pancasila tetapi hal-hal mendasar lain juga dapat menjadi orientasi dan arah, membawa negara kepada tujuannya, yakni keadilan sosial tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi seluruh umat manusia.

Dari beberapa putusan, memperlihatkan norma keadilan sosial berusaha direalisasikan dalam mengawal undang-undang sesuai konstitusi. Dalam pengujian UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (No.001-021-022/PUU-I/2003), MK melalui pengujian Pasal 16 UU dengan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda, akan semakin membuat terpuruk BUMN yang bermuara tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. MK dalam hal ini menjaga sistem UUD 1945 yang menolak ekonomi pasar untuk mencapai cita hukum Pancasila. 

Dalam pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (No. 002/PUU-I/2003) memperlihatkan MK menjaga norma “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan UU Migas mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, dengan ini tidak menjamin prinsip demokrasi ekonomi. Seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Selain itu, pemutusan hubungan kerja agar tidak sewenang-wenang, hal itu diluruskan dalam putusan No.012/PUU-I/2003 dengan kondisi sosiologis pekerja-pengusaha yang berbeda. Lembaga ini juga beberapa kali menjaga alokasi anggaran pendidikan 20% sebagai amanat konstitusi dalam beberapa kali dalam pengujian UU APBN. 

Dalam pengujian UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga telah ternyata pemberian hak-hak atas tanah kepada perusahaan penanaman modal baik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai yang dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Penanaman Modal, bertentangan dengan prinsip penguasaan negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. MK juga turut menjaga tujuan keadilan sosial tercapai dalam pengujian UU Badan Hukum Pendidikan. Keadilan substantif selalu mendasari mengadili perkara Pemilu (Kada) ketika berhadapan dengan keadilan prosedural, untuk membuka peluang tercapainya keadilan. UU Sumber Daya Air dan UU UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan putusan lain dianggap sejalan dengan konstitusi dan tujuan negara sehingga dipertahankan keberlakuannya. 

Hakim Konstitusi Harjono seperti dikutip Ketua MK Moh Mahfud MD dalam materi yang disampaikan pada Pertemuan Pimpinan Lembaga Negara pada 24 Mei 2011 di Gedung MK, mengatakan batu uji materi konstitusionalitas undang-undang bukan hanya pasal-pasal UUD tetapi juga Pembukaan. ”Di dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD Negara Republik Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,” jelas Mahfud. Hal ini merupakan langkah maju, norma fundamental yang berisi asas-asas dan norma dasar lebih dikonkretisasi dengan menilai undang-undang untuk terwujudnya keadilan sosial sesuai cita-cita pendiri republik negeri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar